Rabu, 20 Januari 2010

adab dan akhlak terhadap guru dan menuntut ilmu

Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dan dalam menuntut ilmu itu ada beberapa ada yang harus diperhatikan, berikut di antaranya.

BEBERAPA ADAB MENUNTUT ILMU

1. Mengikhlaskan niat karena Allah ta’âlâ.
2. Berdoa kepada Allah ta’âlâ supaya mendapatkan taufiq dalam menuntut ilmu.
3. Bersemangat (antusias) untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu.
4. Berusaha semaksimal mungkin untuk menghadiri kajian-kajian ilmu.
5. Apabila ada seseorang yang datang belakangan di tempat kajian hendaknya tidak mengucapkan salam apabila dapat memotong pelajaran yang berjalan, kecuali kalau tidak mengganggu maka mengucapkan salam itu sunnah. (Pendapat Syaikh al-Utsaimin dalam Fatawa Islamiyyah:, jilid 1, hlm. 170)
6. Tidak mengamalkan ilmu merupakan salah satu sebab hilangnya barakah ilmu. Allah ta’âlâ mencela orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya dalam firman-Nya:

Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. ash-Shaf: 2-3)

Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Tidaklah aku menulis satu hadits pun dari Nabi n, kecuali telah aku amalkan, sampai ada hadits bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbekam kemudian memberikan Abu Thaybah satu dinar,[1] maka aku pun memberi tukang bekam satu dinar tatkala aku dibekam.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 14)

1. Merasa sedih tatkala ada masyayikh yang sezaman tapi tidak sempat bertemu, serta mencontoh adab dan akhlak mereka.

al-Khalal meriwayatkan akhlak Imam Ahmad rahimahullahu dari Ibrahim, ia berkata: “Apabila mereka mendatangi seseorang yang akan mereka ambil ilmunya, mereka memperhatikan shalat, kehormatan dan gerak-gerik serta tingkah lakunya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya.

Dan dari al-A’masy rahimahullahu berkata, “Orang dahulu belajar kepada ahli fikih tentang semua hal termasuk pakaian dan sandalnya. (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 145)

1. Sopan santun dalam menuntut ilmu.
2. Kontinyu (konsisten) untuk hadir dan tidak malas.

10. Tidak berputus asa dan mencela diri (merendahkan diri). Hendaknya ingat firman Allah ta’âlâ:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. an-Nahl: 78)

Terlebih apabila kesulitan dalam mempelajari sesuatu.

11. Membaca kitab-kitab yang berkaitan dengan thalabul ilmi dan mempelajari metode yang benar dalam menuntut ilmu, serta berusaha mengetahui kekurangan dan kesalahan yang ada pada dirinya.

12. Antusias untuk hadir lebih awal dan mempergunakan waktu dengan baik.

13. Berusaha melengkapi pelajaran yang terlewatkan.

14. Mencatat faedah pada halaman depan atau buku catatan.

15. Berusaha keras untuk mengulang-ulang faedah yang telah didapatkan.

16. Tatkala membeli buku hendaknya diperhatikan terlebih dahulu.

17. Tidak melemparkan kitab ke tanah.

Ada seseorang yang melakukan itu di hadapan Imam Ahmad rahimahullahu dan beliau marah seraya mengatakan, “Beginikah kamu memperlakukan ucapan orang-orang baik?” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 389)

18. Tidak memotong perkataan guru sampai beliau menyelesaikannya.

Imam al-Bukhari berkata: Bab barangsiapa yang ditanya tentang ilmu, sedangkan dia sibuk berbicara, maka selesaikan dulu permbicaraannya. Kemudian beliau membawakan hadits:

أَنَّ أَعْرَابِياًّ قَالَ وَالنَّبِيُّ يَخْطُبُ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى الرَّسُوْلُ فِي حَدِيْثِهِ وَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْثَهُ قَالَ: أَيْنَ أَرَاهُ السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ؟

Ada seorang Arab Badui bertanya kapan hari kiamat tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melanjutkan khutbahnya dan berpaling dari orang itu, tatkala Nabi menyelesaikan khutbahnya, kemudian bertanya: “Dimana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat.” (al-Fath, jilid 1, hlm. 171)

19. Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Kapan saja ada yang tidak dapat dipahami dari perkataan guru oleh muridnya, hendaklah dia bersabar sampai sang guru menyelesaikan ucapannya, baru kemudian dia meminta penjelasan gurunya dengan penuh adab dan kelembutan dan tidak memotong di tengah-tengah pembicaraannya.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 163)

20. Sopan tatkala mengajukan pertanyaan kepada guru, tidak menanyakan sesuatu yang dibuat-buat atau berlebihan atau menanyakan sesuatu yang sudah tahu jawabannya dengan tujuan supaya gurunya tidak mampu menjawab dan menunjukkan bahwa dia tahu jawabannya, atau menanyakan sesuatu yang belum terjadi, dimana salafush shalih mencela hal seperti ini apabila pertanyaan itu dibuat-buat. (Tahdzib at-Tahdzib, jilid 8, hlm. 274, as-Siyar, jilid 1, hlm. 398)

21. Membaca biografi para ulama.

22. Membaca topik dan tema yang berbeda sebelum tiba waktunya. Seperti Ramadhan dan hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa, sepuluh awal dzulhijah dan kurban.

23. Antusias untuk membeli kitab-kitab yang khusus membahas permasalahan-permasalahan fikih. Seperti kitab yang berkaitan dengan sunnah-sunnah Rawatib atau qiyamullail, dll.

24. Memprioritaskan hal-hal yang utama dalam menuntut ilmu.

25. Memulai dengan yang lebih penting.

Sebagaimana petunjuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memulai yang lebih penting yang beliau lakukan dengan tujuan itu. Oleh karena itu tatkala ‘Utban bin Malik memanggil Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seraya berkata kepada beliau, “Aku ingin Anda datang untuk shalat di rumahku, supaya aku jadikan tempat itu menjadi mushalla”, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar beserta beberapa orang sahabatnya.

Tatkala sampai di rumah ‘Utban, mereka meminta izin untuk masuk, kemudian mereka masuk, dan ‘Utban telah membuatkan makanan untuk mereka, maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak makan terlebih dahulu, bahkan berkata: “Dimana tempat yang ingin kamu jadikan mushalla itu?” kemudian diperlihatkan kepada beliau, kemudian beliau shalat, setelah itu baru duduk untuk menyantap hidangan. (HR. al-Bukhari, no. 425 & 667, Muslim, no. 263 dan disebutkan juga oleh Syaikh al-Utsaimin rahimahullahu dalam Syarh Riyadhu ash-Shalihin, jilid 3, hlm. 98)

26. Tidak sok pintar.

27. Memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala menyebut-Nya.

28. Bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala menyebutnya.

29. Mengucapkan radhiyallahu ‘anhum (رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ) kepada para sahabat tatkala menyebut mereka.

30. Mengucapkan rahimahullah (رَحِمَهُ اللَّهُ) kepada para ulama tatkala menyebut mereka.

31. Tidak menyandarkan sesuatu kepada maraji’ apapun kecuali apabila kita membaca berita itu darinya.

32. Tidak menyandarkan hadits kepada selain Imam al-Bukhari dan Imam Muslim apabila hadits itu ada pada keduanya atau salah satu dari keduanya.

33. Berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam menyalin.

34. Menyandarkan faedah kepada yang empunya.

35. Tidak meremehkan faedah walaupun sedikit.

36. Tidak menyembunyikan faedah.

37. Tidak mempergunakan dalil hadits dhaif atau maudhu’.

38. Tidak mendhaifkan hadits, kecuali setelah meneliti an menanyakan kepada ahlinya.

39. Tidak mengacuhkan permasalahan-permasalahan yang ditanyakan kepada dirinya, karena itu dapat mendorong anda untuk meneliti dan menggali lebih dalam masalah itu.

40. Membawa buku catatan kecil untuk mencatat faedah-faedah dan berbagai macam permasalahan.

41. Tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubah.

42. Tidak menyibukkan diri dengan memperbanyak manuskrip atau satu buku yang berbeda penerbitnya, terkecuali ada faedahnya.

43. Mengunjungi perpustakaan-perpustakaan untuk menelaah kitab-kitab yang ada.

44. Menghindari keumuman istilah ilmiah yang mirip lafazhnya.[2]

45. Antusias untuk membaca kitab-kitab yang menjelaskan istilah-istilah penulis atau menjelaskan metode kitab dan bahasan-bahasannya.

46. Tidak terburu-buru dalam memahami ucapan, baik yang tertulis atau yang terdengar. Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan dari Ayub as-Sakhtiyani rahimahullahu, “Apabila ia mengulangi soal itu sama seperti awal, maka ia jawab, kalau tidak maka beliau pun tidak menjawabnya.” (I’lam al-Muwaqi’in 2/187)

47. Banyak membaca kitab-kitab tentang fatwa-fatwa.

48. Tidak terburu-buru untuk menafikan secara umum.

49. Apabila anda meriwayatkan hadits secara makna hendaknya anda jelaskan hal itu.

50. Hindari penggunaan lafadz-lafadz pengagungan untuk memuji diri sendiri.

51. Terimalah kritikan dan nasihat dengan lapang dada bukan karena basa basi.

52. Tidak sedih dan patah semangat karena sedikitnya orang yang belajar darinya. Imam adz-Dzahabi menyebutkan biografi Atha’ bin Abi Rabah bahwasanya dia, tidak ada yang duduk bersamanya (dalam menuntut ilmu –pent) kecuali sembilan atau delapan orang saja. (Siyar A’lam an-Nubala` 8/107)

53. Tidak menghabiskan waktu untuk membahas perkara-perkara yang tidak bermanfaat, seperti masalah-masalah yang ganjil lagi aneh, seperti warna anjng Ashabul Kahfi, pohon yang Nabi Adam p memakan buah darinya, dan panjang kapal Nabi Nuh p, dll.

54. Tidak terpancing untuk keluar jauh dari fokus pembahasan.

55. Tidak berlebih-lebihan dalam merangkai kata-kata dan menjelaskan ucapan serta tidak mempergunakan ibarat dan istilah yang asing.

56. Tidak berbicara tanpa ilmu, dan tidak merasa kesal jika pertanyaannya tidak dijawab.

57. Tidak terpengaruh dengan celaan pribadi apabila agamamu selamat, dan ingatlah ucapan penyair:

وَإِنْ بُلِيْتَ بِشَخْصٍ لاَ خَلاَقَ لَهُ فَكُنْ كَأَنَّكَ لَمْ تَسْمَعْ وَلَمْ يَقُلْ

Apabila engkau diuji dengan orang yang tidak baik

Maka bersikaplah seolah-olah engkau tidak mendengarnya dan dia tidak berkata

58. Tidak berputus asa.

59. Semangat dalam menjalankan shalat malam.

60. Tidak banyak bicara, istirahat dan tidur dalam menuntut ilmu.

61. Secara khusus thalibul ilmi dan secara umum seorang muslim:

1. Memenuhi kebutuhan orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

اِشْفَعُوْا تُؤْجَرُوْا.

Berilah syafaat niscaya kalian dapat pahala. (HR. al-Bukhari)

1. Menepati janji. Allah memuji para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya etntang Nabi Ismail p:

â ¼çm¯RÎ) tb%x. s-ÏŠ$|¹ ωôãuqø9$# á

Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya. (QS. Maryam: 54)

1. Bijaksana, sabar dan lemah lembut. Allah ta’âlâ berfirman:

Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A’raf: 199)

As-Sam’ani rahimahullahu menyebutkan dalam kitab al-Ansab, adz-Dzahabi dalam kitab Tajrid ash-Shahabah, tentang biografi Auf bin Nu’man, berkata: Di masa jahiliyah dahulu dia lebih senang untuk mati dalam kondisi kehausan dari pada mati dalam kondisi ingkar janji, sebagaimana disebutkan:

إِذَا قُلْتَ فِي شَيْءٍ نَعَمْ فَأَتِمَّهُ فَإِنَّ نَعَمْ دَيْنٌ عَلَى الْحُرِّ وَاجِبُ

وَإِلاَّ فَقُلْ لاَ وَاسْتَرِحْ وَأَرِحْ بِهَا لِئَلاَّ يَقُوْلَ النَّاسُ: إِنَّكَ كَاذِبُ

Apabila anda telah mengatakan ‘ya’ maka laksanakanlah

Karena ucapan ‘ya’ adalah hutang yang harus di lunasi

Kalau tidak mampu katakanlah ‘tidak’ dan istirahatlah

Supaya orang lain tidak mengatakan anda pendusta

1. Tawadhu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ.

Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bertawadhu’, supaya tidak ada yang membanggakan dan menyombongkan diri. (HR. Muslim)

1. Gembira, lapang dada, dan mau mendengarkan problema orang lain.
2. Mengajak bicara dan memberi nasihat kepada manusia.

‘Ikrimah rahimahullahu mengatakan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu : “Nasihati manusia satu jum’at sekali, jikalau mau maka dua kali, jika mau maka tiga kali, jangan bikin mereka bosan dengan al-Qur`an dan jangan mendatangi mereka tatkala sedang dalam urusannya dan kau sela pembicaraannya, sehingga mereka merasa jemu, akan tetapi diamlah, jikalau mereka meminta, maka nasihati karena mereka menginginkannya dan hindari olehmu sajak dalam berdoa, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu. (HR. al-Bukhari, no. 6337)

1. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata:

حَدِّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ.

“Ajaklah bicara manusia dengan apa yang mereka ketahui.”

Disitu ada dalil, seyogyanya sesuatu yang tidak jelas tidak di sampaikan ke khalayak ramai, dan hendaknya berkata sesuai dengan apa yang dipahami orang lain, juga ucapan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, “Jangan kau ajak bicara satu kaum yang tidak dapat dipahami oleh mereka karena tu dapat menimbulkan fitnah.” (HR. Muslim)




Adab Internal Murid

1. Seorang murid hendaknya tunduk kepada keinginan Mursidnya (shaikh) dan ta’at kepadanya dalam semua perintah dan nasihatnya, karena Guru Mursid memiliki lebih banyak pengalaman dan lebih banyak pengetahuan dalam haqiqat, dalam tariqat dan dalam shari'ah. Sebagaimana seorang yang sakit menyerahkan dirinya kepada dokternya untuk disembuhkan, begitu pula sang murid, sakit dalam adab dan kelakuannya, berserah diri kepada pengalaman shaikhnya agar supaya disembuhkan.
2. Seorang murid hendaknya tidak menentang cara sang Guru mengarahkan (memberi instruksi) dan mengendalikan sang murid. Setiap shaikh memiliki caranya tersendiri, yang diizinkan untuk digunakan oleh Guru nya (Gurunya Guru atau Kakek Guru). Imam Ibn Hajar al-Haythami mengatakan, "Barangsiapa membuka pintu kritik terhadap guru dan kelakuan (perlakuan) guru terhadap para murid akan dihukum dan akan diisolasi (dikucilkan) dari mendapatkan pengetahuan spiritual. Barangsiapa berkata kepada Gurunya, 'Mengapa?' tidak akan berhasil." [al-Fatawa al-Hadithiyya, halaman 55]
3. Seorang murid hendaknya mengetahui bahwa Guru boleh jadi melakukan beberapa kesalahan, namun hal ini tidak menghalanginya dari mengangkat murid itu kepada Hadhirat Ilahi (Divine Presence). Jadi sang murid harus mema’afkan Guru, karena Guru bukanlah Nabi (s.a.w.) . Hanya Nabi (s.a.w.) bebas dari kesalahan. Meskipun jarang, seperti halnya dokter mungkin melakukan kesalahan dalam menangani seorang penderita (patient), begitu juga Guru membuat kesalahan dalam menangani penyakit spiritual murid, dan itu harus dima’afkan.
4. Seorang murid hendaknya menghormati dan memuliakan Guru baik dalam hadir maupun absennya, jika hanya karena Guru dapat melihat dengan mata hati (qalbu)nya. Dikatakan bahwa bila seseorang tidak gembira dengan perintah-perintah Gurunya, dan tidak mempertahankan kelakuan dan adabnya yang baik, (dia) tidak akan mempertahankan kelakuan baiknya terhadap al Qur’an dan dengan Sunnah Nabi (s.a.w.). Shaikh Abdul Qadir Jilani berkata, "Barangsiapa meng-kritik seorang wali, Allah akan menyebabkan (menjadikan) qalbunya layu."
5. Sang murid hendaknya jujur dan setia dengan kebersamaannya dengan Gurunya.
6. Dia hendaknya mencintai Gurunya dengan cinta luar biasa. Dia hendaknya tahu bahwa Gurunya akan membawanya sampai kepada Hadhirat Allah, Yang Agung (Almighty) dan Tinggi (Exalted), dan kepada hadhirat Nabi (s.a.w.).
7. Dia hendaknya tidak melihat kepada selain Gurunya, meskipun dia tetap harus mempertahankan hormat kepada semua shaikh lainnya.

Adab External Murid

1. Dia hendaknya setuju dengan opini (pendapat) Gurunya secara keseluruhan, sebagaimana seorang penderita (patient) setuju dengan dokternya (physician).
2. Dia hendaknya berkelakuan baik dalam jama’ah Gurunya, dengan mencegah menguap, terbahak-bahak, meninggikan suaranya, berbicara tanpa perkenannya, melonjorkan kakinya, dan selalu duduk dalam sikap sopan
3. Dia hendaknya melayani Gurunya dan membuat dirinya se-berguna mungkin.
4. Dia hendaknya tidak menyebutkan dari khutbah Gurunya apa-apa yang tidak dimengerti oleh pendengar (jema’ah)nya. Ini mungkin membahayakan Gurunya dengan cara yang tidak disadari murid itu. Sayyidina cAli berkata, dalam sebuah hadith yang diberitakan dalam Bukhari, "Berkatalah kepada orang pada tingkatan yang mereka mengerti, karena engkau tidak ingin mereka menolak Allah dan Rasul (s.a.w.) Nya."
5. Dia hendaknya hadir dalam jama’ah Gurunya. Meskipun tinggal ditempat yang jauh, dia harus berusaha untuk datang sesering mungkin.

Ibn Hajar al-Haythami berkata, "Banyak orang, apabila mereka melihat petunjuk (Guru)nya keras di dalam hal fardhu dan Sunnah Nabi (s.a.w.), menuduh (Guru)nya terlalu ketat. Mereka mengatakan bahwa dia (Guru) shalat terlalu banyak atau mempertahankan Sunnah terlalu (ber)kukuh. Orang-orang ini tidak menyadari bahwa mereka sedang jatuh kepada kehancuran diri mereka sendiri. Berhati-hatilah dalam percaya kepada gerutuan ego-mu tentang keketatan Guru kepada penegakan shari'ah." [al-Fatawa al-Hadithiyya, halaman 55.]

Abu Hafsa an-Nisaburi dikutip (quoted) dalam buku Shaikh as-Sulami's Tabaqat as-sufiyya, halaman 119, mengatakan: "Sufism terdiri dari adab [kelakuan baik]. Untuk setiap keadaan dan tingkat terdapat adab yang sesuai (dengan tingkat dan keadaan itu). Untuk setiap waktu terdapat kelakuan yang sesuai. Barangsiapa mempertahankan adab akan mencapat Maqam Insan Kamil (the Station of Manhood), dan barangsiapa meninggalkan adab akan dijauhkan dari keterterimaan ke dalam Hadhirat Allah (Allah's Divine Presence)."

Kelakuan Murid dengan sesama Saudara (Murid)

1. Dia hendaknya mempertahankan hormat untuk mereka baik dalam hadir maupun absennya, tidak mengihianati (ngrasani) nya.
2. Dia hendaknya memberikan nasihat kepada mereka apabila mereka membutuhkannya dengan maksud untuk memperkuat mereka. Nasihatnya kepada mereka hendaknya (diberikan) secara pribadi dan hendaknya penuh dengan kerendahan dan bebas dari kesombongan. Dia yang diberi nasihat hendaknya menerimanya, hendaknya berterima-kasih, dan hendaknya melaksanakan nasihat itu.
3. Dia hendaknya hanya berbaik sangka kepada saudaranya dan tidak mencari-cari kelakuan buruk mereka.
4. Dia hendaknya menerima permintaan ma’af mereka, bila mereka memintanya.
5. Dia hendaknya selalu dalam kedamaian dengan mereka.
6. Dia hendaknya membantu mereka bila sedang diserang.
7. Dia hendaknya tidak meminta menjadi pemimpin mereka, hanya menjadi sesama saudara dengan mereka.
8. Dia hendaknya memperlihatkan kerendahan hati kepada mereka sejauh mungkin. Nabi (s.a.w.) berkata, "Pemimpin suatu kaum adalah mereka yang melayani kaumnya itu."

Kelakuan baik dari murid sesungguhnya tiada batasnya. Dia hendaknya selalu berusaha keras (jihad) dan membuat kemajuan dengan Gurunya, dengan sesama saudaranya, dengan masyarakatnya, dan dengan Bangsanya, karena Allah selalu memperhatikan dia, Nabi (s.a.w.) selalu memperhatikan dia, Guru selalu memperhatikan dia, dan para Guru-Guru yang telah mendahului mereka selalu memperhatikan mereka. Dengan kemajuan yang tetap, hari demi hari, dia akan mencapai Keadaan Kesempurnaan (the State of Perfection) dengan petunjuk dan bantuan Gurunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar